KESENIAN TRADISIONAL SULAWESI UTARA
(by Fevi Lestari)
Sulawesi Utara terletak di ujung Pulau Sulawesi, dan berbatasan dengan Negara Filipina di sebelah utara. Ibu kota Sulawesi Utara adalah Manado.
Secara umum kehidupan di Kota Manado sama dengan kota-kota besar lainnya
di Indonesia. Pusat kota terdapat di Jalan Sam Ratulangi yang banyak
dibangun pusat-pusat pembelanjaan yang terletak di sepanjang jalur
utara-selatan yang juga dikenal dengan tempat yang memiliki
restoran-restoran terkenal di Manado. Akhir-akhir ini Manado terkenal
dengan makin menjamurnya mal-mal dan restoran-restoran yang dibangun di
sepanjang pantai yang memanfaatkan pemandangannya yang indah di saat
menjelangnya matahari terbenam.
Sulawesi
Utara mempnyai latar belakang sejarah yang cukup panjang sebelum daerah
yang berada di paling ujung utara Nusantara ini menjadi Daerah
Propinsi.
Dalam sejarah pemerintahan daerah Sulawesi Utara, seperti halnya daerah
lainnya di Indonesia, mengalami beberapa kali perubahan administrasi
pemerintahan, seiring dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan
bangsa.
Pada permulaan kemerdekaan Republik Indonesia, daerah ini berstatus
keresidenan yang merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi. Propinsi
Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar dengan Gubernur yaitu
DR.G.S.S.J. Ratulangi.
Dalam perkembangan selanjutnya, tercatat
suatu momentum penting yang terpatri dengan tinta emas dalam lembar
sejarah daerah ini yaitu dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1964 tanggal 23 September 1964 yang menetapkan status Daerah Tingkat I
Sulawesi Utara sebagai daerah otonom Tingkat I dengan Ibukotanya Manado.
Momentum diundangkannya UU Nomor 13 Tahun 1964 itulah yang kemudian
ditetapkan sebagai hari lahirnya Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Sejak
itulah secara de facto wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara
membentang dari utara ke selatan barat daya, dari Pulau Miangas ujung
utara di Kabupaten Sangihe Talaud sampai ke Molosipat di bagian barat
Kabupaten Gorontalo. Adapun daerah tingkat II yang masuk dalam wilayah
Sulawesi Utara yaitu; Kotamadya Manado, Kota Madya Gorontalo, Kabupaten
Minahasa, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan
Kabupaten Sangihe Talaud. Gubernur Propinsi Dati I Sulawesi Utara yang
pertama adalah F.J. Tumbelaka.
Makanan Khas
Sama seperti daerah lainnya yang ada di Indonesia. Makanan khas Sulawesi Utara yang paling populer adalah Tinutuan atau Midal (bubur Manado). Di daerah Minahasa terdapat makanan khas yang jarang ditemui di daerah lainnya di Indonesia seperti
rintek wuuk (biasa disebut
RW) atau daging anjing, daging ular dan
paniki (daging kelelawar). Makanan khas lainnya seperti
woku blanga dan
cakalang fufu sering ditemui di daerah pesisir.
Seni Tari
Tarian Kabasaran / Kawasaran
Kota Tomohon - Sulawesi Utara - Indonesia
Tarian
Kabasaran merupakan salah satu tarian tradisional Minahasa. Tarian ini
tidak dimainkan sendiri, namun berkelompok. Para penari memakai pakaian
merah, mata melotot, wajah garang, diiringi tambur atau gong kecil
sembari menyondang pedang dan tombak tajam. Bentuk dasar dari tarian ini
adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan.
Tiap
penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan
dari leluhurnya yang terdahulu karena tarian Kabasaran merupakan
keahlian turun-temurun. Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak. Babak-babak tersebut terdiri dari cakalele, lumoyak, dan lalaya‘an.
Pada jaman dahulu, para penari Kabasaran hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat. Namun, apabila Minahasa dalam keadaan perang, maka para penari Kabasaran menjadi waranei (prajurit perang). Dalam kehidupan sehari-hari, waranei ini berprofesi sebagai petani. Kini, tarian Kawasaran atau Kabasaran acapkali ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu daerah maupun ditampilkan pada festival-festival kebudayaan di Sulawesi Utara.
Tarian
Kabasaran amat berbeda dengan tarian lainnya di Indonesia yang umumnya
mengumbar senyum dengan gerakan yang lemah gemulai. Tarian ini
didominasi dengan warna merah, rias wajah yang sangar, serta lantunan
musik yang membakar semangat. Tak hanya itu, mereka dibekali pedang dan
tombak tajam, sehingga membuat tarian Kabasaran terkesan rancak dan
garang.
Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata ‘wasal‘
yang bermakna ayam jantan yang dipotong jenggernya agar sang ayam
menjadi lebih garang dalam bertarung. Tarian ini diiringi oleh suara
tambur atau gong kecil. Alat musik pukul seperti gong, tambur atau
kolintang disebut pa ‘wasalen dan para penarinya disebut kawasalan, yang berarti ‘menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung‘.
Ketika
anda berminat untuk menyaksikan tarian ini, maka Anda harus
mempertimbangkan seberapa banyak jumlah penari berpasangan yang hendak
dipesan, karena tarian Kabasaran tidak bisa dimainkan oleh satu atau dua
orang saja, melainkan berkelompok. Semakin banyak pasangan, semakin
apik tarian ini. Maka tentu saja, Anda harus merogoh kocek lebih banyak
untuk menyaksikannya.
Tari Mesalai

Mesalai adalah salah satu jenis tarian tradisional yang berasal dari
Provinsi Sulawesi Utara. Kesenian yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat Kepulauan Sangihe Talaud ini dahulu merupakan bagian dari
suatu upacara ritual sebagai perwujudan rasa syukur kepada Genggona
Langi Duatung Saluruang (Tuhan Yang Maha Tinggi Penguasa Alam Semesta)
atas segala anugerah yang telah diberikan-Nya. Namun, seiring dengan
perkembangan zaman dan masuknya agama-agama baru, tari mesalai saat ini
juga digunakan sebagai pelengkap upacara adat dan syukuran, seperti:
khitanan, perkawinan, mendirikan rumah baru, peresmian perahu baru dan
lain sebagainya.
Peralatan musik (waditra) yang digunakan untuk mengiringi tari mesalai
adalah tegonggong yang iramanya terdiri dari lima macam, yaitu: (1)
tengkelu bawine (irama untuk wanita); (2) tengkelu sonda (irama untuk
pria); (3) tengkelu sahola (irama lincah); (4) tengkelu balang (irama
mendayung); dan (5) tengkelu duruhang (irama menyusur pantai). Irama
musik tegonggong ini dipadukan dengan sasambo atau lagu pujaan yang
berisi ajaran tentang baik dan buruk, hubungan antarmanusia, manusia
dengan Sang Pencipta, dan manusia dengan alam lingkungannya.
Busana yang dipakai oleh para penari pria adalah busana adat yang
disebut laku tepu. Busana ini terbuat dari tumbuhan sejenis pisang yang
kadang disebut juga serat manila. Selain itu, para penari pria juga
menggenakan tutup kepala yang terbuat dari lipatan kain yang disebut
paporong dan sapu tangan (lenso). Sedangkan, busana yang dikenakan oleh
penari wanita diantaranya adalah: (1) laku tepu; (2) papili (mahkota
yang terbuat dari kulit penyu yang dihiasi sejenis bunga angrek); (3)
topo-topo (rangkaian bunga yang dililitkan pada sanggul); (4) soho
(kalung); (5) galang (gelang); (6) lenso (sapu tangan); dan (7) boto
pasige (sanggul).
Pertunjukan tari mesalai diawali dengan masuknya para penari wanita yang
berjalan dengan lemah gemulai, lalu memberi hormat (mindura) pada para
penonton. Dalam gerakan menghormat tersebut, penari diiringi tabuhan
tegonggong dengan irama tengkelu bawine dan nyanyian sasambo yang
syairnya berbunyi “Kawansang ana gune, kumandang kapetuilang” (keagungan
penari wanita, kerdipan mata seperti disangga).
Setelah itu, para penari pria akan menyusul masuk pentas dan kemudian
memberi hormat pada para penonton. Selanjutnya, mereka langsung menari
dengan gerakan kaki yang dihentak-hentak ke lantai dan gerakan tangan
yang diayunkan ke muka sesuai dengan tabuhan tegonggong yang berirama
tengkelu senda (irama laki-laki). Sedangkan, syair sasambo yang
dinyanyikan berbunyi “Su pedimpolangang, salaing ese mang ene”, yang
artinya “dalam setiap pertemuan tarian tetap (harus) ada”.
Kemudian, para penari akan membentuk lingkaran sambil terus
menghentakkan kaki dan mengayunkan tangan ke kiri dan ke kanan secara
bergantian. Irama yang ditabuh dalam mengiringi gerakan ini adalah
tengkelu sahola dan syair lagu yang dinyanyikan berbunyi “Sengkalitu
sengkara angeng, sengka pemedi limbene” yang artinya, “serempak dan
bersama-sama naik, serempak melenggangkan tangan.”
Selanjutnya, para penari pria akan berpasangan dengan penari wanita
untuk menarikan tari pergaulan yang disebut medalika. Pada gerakan tari
ini para penari memegang sapu tangan dengan kedua belah tangan dan
berputar membentuk lingkaran. Kemudian para penari wanita akan
berjongkok dan penari pria mengelilinginya sambil melakukan gerakan
mengaleke.
Ketika irama tegonggong berganti menjadi tengkelu balang, para penari
berganti posisi dan mulai memainkan gerakan mendayung yang merupakan
simbol dari masyarakat Sangihe Talaud yang sebagian besar bermata
pencaharian sebagai nelayan. Dalam gerakan ini sasambo yang dinyanyikan
berbunyi “Dasalipe mapia, salai megugunena”, yang artinya “berbalaslah
lagu secara serasi, para penari semakin halus dan mantap.”
Gerakan selanjutnya adalah salaing durung (menyusuri pantai). Pada
gerakan ini para penari akan menari sambil menghentakkan kaki diiringi
irama tengkelu durunghang dan syair sasambo yang berbunyi “Gagaweangu
sangihe, ndai tuo katamang” (kebudayaan Sangihe Talaud, semoga tumbuh
dan berkembang). Setelah syair sasambo selesai dinyanyikan, para penari
akan memberi hormat pada para penonton sebelum meninggalkan panggung.
Mesalai sebagai tarian khas orang Sangihe
Talaud, jika dicermati, tidak hanya mengandung nilai estetika
(keindahan), sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-gerakan tubuh para
penarinya. Akan tetapi, juga nilai kerukunan dan kesyukuran. Nilai
kerukunan tercermin dalam fungsi tari tersebut yang diantaranya adalah
sebagai ajang berkumpul antarwarga dalam suatu kampung atau desa untuk
merayakan suatu upacara adat dan saling bersilaturahim sehingga
menciptakan suatu kerukunan di dalam kampung atau desa tersebut.
Sedangkan, nilai kesyukuran tercermin dalam tujuan diselenggarakannya
tarian tersebut, yang merupakan salah satu unsur dalam penyelenggaraan
suatu upacara adat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta.
(gufron)
Tari Maengket
Tari
maengket adalah salah satu seni tarian rakyat orang Minahasa di Kota
Manado yang merupakan tari tontonan rakyat. Tarian ini disertai dengan
nyanyian dan diiringi gendang atau tambur yang biasanya dilakukan
sesudah panen padi sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta. Saat ini
tari maengkat telah berkembang dalam masyarakat membentuk
tumpukan-tumpukan dengan kreasi baru.
Seni Musik
Musik Kolintang
Musik kolintang pada
awalnya dibuat dari bahan yang disebut wunut dari jenis kayu yang
disebut belar. Pada perkembangan selanjutnya, kolintang mulai
menggunakan bahan kayu telor dan cempaka. Orkes kolintang sebagai produk
seni musik tradisional bukan saja sebagai sarana hiburan, akan tetapi
juga sebagai media penerapan pendidikan musik yang dimulai dari
anak-anak sekolah di Kota Manado.
Musik Tiup Bambu
Musik
tradisional ini berasal dari kepulauan Sangihe Talaud yang diciptakan
oleh seorang petani pada tahun 1700. Pada awalnya musik bambu hanya
merupakan alat penghibur bagi masyarakat petani setelah seharian
melakukan aktivitas sebagai petani yang biasanya dibunyikan setelah
selesai makan malam. Dewasa ini di Kota Manado, musik bambu telah
menjadi salah satu jenis musik yang sering digunakan pada acara-acara
tertentu agar menjadi lebih semarak dan bergengsi.
Musik Bia
Bia
adalah sejenis kerang atau keong yang hidup dilaut. Sekitar tahun 1941
seorang penduduk Desa Batu Minahasa Utara menjadikan kerang/keong
sebagai satu tumpukan musik. Musik bia akhirnya telah menjadi salah satu
seni musik tradisional yang turut memberikan nilai tambah bagi
masyarakat Kota Manado. Dengan hadirnya musik ini pada pagelaran
kesenian dan acara tertentu, telah menimbulkan daya tarik tersendiri
bagi wisatawan baik mancanegara maupun nusantara,-
Rumah Adat
Rumah adat tradisional
Rumah bolang mongondow

Rumah ini memiliki tangga di samping kiri dan
kanan rumah tersebut, tangga sebelah kanan untuk masuk dan tangga
sebelah kiri untuk keluar. Rumah ini mempunyai ruang tamu, ruang
keluarga dan kamar-kamar. Rumah ini dibuat panggung dengan atap yang
memiliki ciri khas ada bentuk huruf U yang ujungnya lancip.
Rumah Panggung
Rumah
panggung atau wale merupakan tempat kediaman para anggota rumah tangga
orang Minahasa di Kota Manado, dimana didalamnya digunakan sebagai
tempat melakukan berbagai aktivitas. Rumah panggung jaman dahulu
dimaksudkan untuk menghindari serangan musuh secara mendadak atau
serangan binatang buas. Sekalipun keadaan sekarang tidak sama lagi
dengan keadaan dahulu, tapi masih banyak penduduk yang membangun rumah
panggung berdasarkan konstruksi rumah modern.
Pengucapan Syukur
Pada
masa lalu pengucapan syukur diadakan untuk menyampaikan doa atau mantra
yang memuji kebesaran dan kekuasaan para dewa atas berkat yang
diberikan sambil menari dan menyanyikan lagu pujian dengan syair yang
mengagungkan. Saat ini pengucapan syukur di Kota Manado dilaksanakan
dalam bentuk ibadah di
gereja. Pada hari H tersebut setiap rumah tangga menyiapkan makanan dan
kue untuk dimakan oleh anggota rumah tangga, juga dipersiapkan bagi
para tamu yang datang berkunjung.
Kebudayaan Masyarakat
Mapalus adalah bentuk gotong royong tradisional warisan nenek moyang orang Minahasa
di Kota Manado yang merupakan suatu sistem prosedur, metode atau tehnik
kerja sama untuk kepentingan bersama oleh masing-masing anggota secara
bergiliran.
Mapalus muncul atas dasar kesadaran akan adanya kebersamaan,
keterbatasan akan kemampuannya baik cara berpikir, berkarya, dan lain
sebagainya.
Suku dan Bahasa
Di
Propinsi Sulawesi Utara terdapat etnis/suku utama yaitu Suku Minahasa,
Suku Sangihe, suku Talaud, serta Suku Bolaang Mongondow. Penduduk asli Manado adalah suku Bantik. Karena
banyaknya komunitas peranakan arab, maka keberadaan Kampung Arab yang
berada dalam radius dekat Pasar '45 masih bertahan sampai sekarang dan
menjadi salah satu tujuan wisata agama. Selain itu terdapat pula
penduduk Suku Jawa, Suku Batak, Suku Makasar dan suku bangsa lainnya.
Dari tiap tiap suku etnis tersebut memiliki bahasa serta tradisi yang
bermacam macam seperti bahasa daerah, serta terdapat pula tradisi serta
norma-norma kemasyarakatan yang sangat unik dan khas.
Bahasa
digunakan sebagai bahasa sehari-hari di Manado (Sulawesi Utara) dan
wilayah sekitarnya disebut bahasa Melayu Manado. Bahasa nya menyerupai
Bahasa Indonesia tetapi dengan logat yang khas. Beberapa kata dalam
dialek berasal dari Bahasa Belanda, Bahasa Prtugis dan bahasa asing lainnya. Sehingga
bahasa yang di pakai sehari hari di provinsi Sulut ini terbagi dalam
beberapa bahasa seperti Bahasa Minahasa ( terdiri dari bahasa Toulour,
Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Batik).
Bahasa
daerah Sangihe Talaud ( terdiri dari bahasa Sangie Besar, Siau serta
bahasa Talaud). dan Bahasa daerah Bolaang Mongondow ( terdiri dari
bahasa Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang). Walaupun memiliki
bermacam bahasa daerah Bahasa nasional Indonesia juga digunakan dan
dimengerti dengan baik oleh sebagian besar masyarakat yang ada di
Sulawesi Utara.
Masyarakat
Manado juga disebut dengan istilah "warga Kawanua". Walaupun secara
khusus Kawanua diartikan kepada suku Minahasa, tetapi secara umum
penduduk Manado dapat disebut juga sebagai warga Kawanua. Dalam bahasa
daerah Minahasa ,
"Kawanua" sering diartikan sebagai penduduk negeri atau "wanua-wanua"
yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata "Kawanua" diyakini
berasal dari kata "Wanua". Kata "Wanua" dalam bahasa Melayu Tua (Proto
Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Sementara dalam bahasa
Minahasa, kata "Wanua" diartikan sebagai negeri atau desa.